Aku
adalah fotografer sekaligus jurnalis di sebuah media. Profesiku yang tidak
mengikat waktu ini membuatku leluasa mengambil pelajaran dari segala pristiwa
alam. Aku dapat melihat kesudahan orang berbuat baik, aku dapat melihat
kesudahan orang berbuat jahat, bahkan prediksi kejadian yang akan datang pun
dapat terbaca.
Jika
aku amati dengan seksama, seolah-olah alam ini berbicara, mereka suka
mengajak berkomunikasi dengan manusia. Ketika tidak senang dengan
manusia, mereka menampakkannya dengan bencana. Ketika sedang ramah dengan
manusia, mereka menampakkannya dengan hasil budi daya manusia yang melimpah.
Dan itu semua merupakan timbal balik dari perbuatan manusia terhadap alam itu
sendiri.
Hal
ini bisa kita lihat dari berbagai peristiwa alam, dan sebab akibatnya, baik
yang masuk akal maupun yang tidak masuk akal. Apa yang menyebabkan bencana
banjir menimpa di berbagai titik rawan banjir? Apa yang menyebabkan gempa
tsunami di suatu Negara? Apa yang menyebabkan keluarnya lumpur dari dalam bumi
terus berhamburan? Itu semua ada sesuatu yang menjadi sebabnya. Bukan
semata-semata terjadi begitu saja.
Sebagaimana
yang saat ini aku saksikan. Salah seorang tertangkap basah oleh kameraku. Dia adalah
salah seorang pesuruh perusahaan pabrik, sedang membuang limbah cair di sungai
irigasi yang banyak digunakan masyarakat sekitar, baik untuk MCK maupun untuk
pengairan tanaman dan ternak.
Namun
sepertinya Tuhan hendak mengajariku sesuatu. Profesi yang dilindungi
undang-undang negara ini tidak menjamin keselamatanku. Niat hendak mengabdi
pada masyarakat dengan media massa, di tengah aksiku, aku mendapat ujian. Pasalnya
saat aku memotret suatu adegan kecurangan dari salah satu oknum perusahaan
pabrik yang membuang limbah ke sungai tersebut, aku dianggap mengusik hak
mereka. Secara hak asasi, betul itu hak mereka membuang limbah kemana saja. Tetapi
secara aturan undang-undang mereka telah melanggara kewajiban. Yang seharusnya
limbah tersebut dinetralisir terlebih dulu guna tidak mengakibatkan hal buruk
pada sungai itu, baru kemudian dibuang.
Dari
belakang aku dicekal sejumlah orang tak dikenal. Pikirku mereka adalah
orang-orang yang diperbantukan oleh perusahaan untuk mengawasi aksi pembuangan
limbah tersebut. Nafsu syaitoniah mendominasi pikiran mereka, sehingga aku
menjadi sasaran penganiayaan. Dipukulinya aku sampai terjatuh, terkulai lemah. Hantaman-demi
hantaman mendarat ke sekujur tubuhku. Aku tak berdaya. Lebih nahasnya lagi,
kamera yang aku gunakan memotret mereka, dihancurkan.
Dalam
kondisi lemah tak berdaya, aku ditinggal. Beruntung tidak menghilangkan
nyawaku. Hanya saja kameraku hancur. Aku coba nyalakan, memastikan kamera ini
masih berguna atau tidak. Ah ternyata rusak parah. Kemudian aku cabut kartu
memorinya.
Sepanjang
tanggul sungai irigasi itu, aku terhuyung-huyung menahan rasa sakit akibat luka
memar di sekujur tubuh. Sambil menenteng kamera hancur, aku berupaya
membersihkan luka-luka tersebut dengan air irigasi. Di sekitar itu terdapat jamban
yang biasa digunakan masyarakat sekitar untuk keperluan mandi dan mencuci. Di sana
ada ibu-ibu yang baru selesai mencuci pakaiannya. Tiba-tiba ibu-ibu tersebut mengeluh,
karena air yang baru saja digunakan menimbulkan gatal-gatal di kulitnya. Tanpa menegur
ibu-ibu tersebut kemudian pergi sambil menggaruk-garuk kaki dan tangannya. Akhirnya
aku pun mengurungkan niat membersihkan luka-luka ini, khawatir akan menimbulkan
gatal-gatal pula. Kemudian aku melanjutkan perjalanan.
Di
tengah perjalanan berikutnya aku mendapati seorang bapak-bapak sedang meratap,
lantaran bebek-bebek piaraannya mati karena habis berrenang di sungai irigasi
itu. Besar kemungkinan airnya mengandung racun sehingga terminum oleh
bebek-bebek tersebut. Aku mencoba menegurnya.
“Pak,
ada apa dengan bebek-bebeknya?” tanyaku, memastikan apa penyebab kematian
bebek-bebek tersebut.
“Entah
lah, habis berenang di sungai tiba-tiba lemas terus mati. Sebagian besar pada
hanyut,” ujar bapak-bapak tadi.
Dugaan
kuat dalam benakku, bahwa air irigasi ini mengandung racun berbahaya. Jika betul
demikian, berarti pembuangan limbah dari pabrik tadi tidak hanya se-kali. Kulihat
di permukaan air sungai ternyata banyak sekali ikan-ikan mati mengambang. Jumlahnya
mungkin ratusan sampai ribuan. Tidak habis pikir, sedahsyat itu racunnya. Bagaimana
jika terminum oleh manusia? Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan. Kejadian ini
belum terlalu berasa akibatnya. Tapi lambat laun bencana yang lebih besar akan
terjadi akibat dari kondisi alam seperti ini.
Beruntung
pristiwa penganiayaan yang menimpaku tadi tidak sampai menghilangkan file yang
terdapat dalam kartu memory kameraku. Sehingga masih bisa aku blow-up aksi-aksi
mereka. Walau kameranya hancur, yang penting pesan ini harus sampai ke publik. Sehingga
saat surat kabar yang akan terbit hari esok, foto berikut beritanya, aksi dan
adegan para oknum perusahaan itu terpublikasi. Atas kejadian ini, aku punya bahan
berita yang sangat banyak. Nanti bisa aku konfirmasikan ke instansi terkait. Kemudian
ke perusahaannya langsung. Harapan besar bagiku, berita tersebut terbaca oleh
semua kalangan. Baik dari pemerintah eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
masyarakat, sehingga menjadi bahan evaluasi sampai menindak oknum perusahaan
nakal itu.
Di
sinilah aku merasakan ada komunikasi antara aku dengan alam. Sejatinya itu
adalah metode Tuhan mengabarkan suatu peristiwa kepada hambanya yang
dikehendaki. Semoga dengan profesi ini, terdapat nilai ibadah di sisi Tuhan.
Sekian
Firman Allah Q.S. Ar-Rum ayat 41-42
“Telah tampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar
mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali
(ke jalan yang benar). (41)
Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di
bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari
mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (42)
Asep Riyadi