Didapati sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan seorang anak, tertatih-tatih dalam mengarungi jalan hidupnya. Dalam hidupnya mereka tidak seberuntung masyarakat di sekitarnya. Suaminya kena PHK dari sebuah PT. cukup bonapit di negaranya. Istrinya hanya seorang ibu rumah tangga. Sedang anaknya masih duduk di bangku kelas V SD.
Untuk melangsungkan kehidupannya sehari-hari, suaminya hanya mengandalkan serabutan. Sedang istri dan anaknya hanya bergantung pada lelaki yang bekerja serabutan tersebut. Juga tidak sedikit hutang di beberapa tempat belanja kebutuhannya. Diketahui lelaki bernasib malang itu bernama Malik. Dalam hal seperti demikian, mereka merasa letih dan sengsara. Dalam kesehariannya lapar menjadi keluhan utama bagi keluarga tersebut.
Sering kali kepala dari keluarga tersebut mencari nafkah dengan berbagai pekerjaan. Hanya pekerjaannya tidak menuai penghasilan yang cukup untuk kesehariannya. Satu waktu di tengah terik matahari Malik berjalan di jalan yang penuh debu, dengan perut lapar dia mengusap keringat yang mengaliri kulit kusamnya. Beberapa toko ia lalui untuk mencari pekerjaan, namun tidak kunjung dapat. Terlihat di antara beberapa toko, seorang pedagang sedang memarahi pelayannya yang kerjanya dianggap tidak becus.
Melihat kondisi aktivitas kerja di pasar demikian, Malik mengurungkan niatnya melamar kerja sebagai pelayan di pasar. Akhirnya dia memutuskan untuk mengunjungi rerkan sejawatnya, kali ada bantuan darinya. Rekan tersebut merupakan tempat berbagi keluhannya, Arya namanya. Dia juga tidak jauh beda kesengsaraanya. Rekan tersebut hanya bekerja sebagai tukang ojek. Namun rekan yang satu ini tidak terlalu memikirkan nasib yang dialaminya. Dia lebih banyak bersyukur berapapun hasil dari ojeknya. Yang penting, menurutnya, sehat. Dengan sehat maka uang bisa dicari.
“Kerja, kerja yang bener. Gaji pada pengen gede kerja gak pada becus. Hey kamu sini, angkat tuh barang,” pedagang mengatur anak buahnya.
Tidak disengaja pengelihatannya mengarah ke Malik, sedang Malik sendiri sedari tadi berdiri di sekitar toko-toko, menyaksikan aktivitas kerja di pasar. “Apa liat-liat?”
“Sebetulnya kebutuhan hidup itu sederhana yang penting anak istriku bisa makan, sehat, dan rajin ibadah.” Ujarnya saat berbincang-bincang dengan sahabat bernasib malangnya itu.
“Kebutuhan itu sederhana, tapi nasib aku jauh lebih sederhana dari kebutuhan itu. Gymana bisa beribadah, buat berdiri saja lemas. Kamu enak masih punya motor yang bisa dipake buat cari uang.” Jawabnya.
“Alhamdulillah Aku memanfaatkan yang ada. Warisan dari orang tuaku dulu.” Kata Arya.
“Aku, apa yang bisa aku manfaatkan?” Keluh Malik.
“Kalau kamu mau, silahkan kamu bisa pake motor aku buat cari uang. Tanpa setoran. Aku biasa mangkal kalau siang, silahkan malamnya kamu pake,” tawar sahabatnya demi meringankan beban.
“Gak ya, itu terlalu merepotkanmu. Aku mau cari pekerjaan yang lain aja dulu,” tolak Malik bernada kasihan pada sahabatnya itu.
“Atau kalu bisa kamu temui Ustadz Wawan, kali aja ada pekerjaan buat kamu,” solusi Arya.
“Kerjaan apa,. Paling beliau nyuruh bersyukur, ibadah yang rajin, mana ada dia ngasih kerjaan,.“ ujar Malik.
“Tapi buktinya beliau hanya bersyukur hidupnya tenang-tenang aja. Ibadah rajin, da’wah di mana-mana jalan.” Sela Arya.
“Dia sih enak, mertuanya kaya, sawahnya banyak di mana-mana.”
“Justru itu, kamu minta buat ngurus sawahnya. Atau apa ke, Kali aja ada.” Desak Arya menyemangati teman malangnya itu.
***
Malik pun menemui ustadz Wawan untuk membicarakan hal tujuannya. Yaitu meminta pekerjaan pada beliau, walau hanya mengurus sawahnya. Namun sialnya pengaruh hedonisme telah merambat ke segenap kalangan, termasuk pada yang berjuluk ustadz. Salah satunya ustadz Wawan ini. Phenomena yang terjadi di sebagian masyarakat, untuk menjadi seorang ustadz itu dididik di sebuah pesantren sampai puluhan tahun, minimal belasan tahun. Dan biasanya mereka dari keluarga yang berada, karena untuk biaya pendidikannya selama di pesantren.
Usai dari pesantren mereka menikahi gadis dari keluarga yang berada pula, guna mempertahankan kehormatan keluarganya. Walau dengan alas an demi kepentingan dakwah. Sialnya lagi sebagaian mereka yang lahir dari pesantren tidak luput dari pengaruh skularisme, sehingga mengabaikan kehidupan bermasayarakat dengan ajaran agama. Ilmu yang diajarkan ke anak didik hanya sabatas membaca tulisan arab dan tata cara ibadah maghdloh.
Pelajaran yang diambil dari pesantren hanya sebatas amaliyah peribadatan yang vertical, ibadah maghdloh, nafsi-nafsi antara hamba dengan Tuhannya saja. Tidak mengaplikasikan ajaran agama secara total, meringankan beban tetangga, merangkul masyarakat yang akidahnya rentan karena kondisi ekonominya minim. Memberi solusi atas degradasi moral masyarakat karena pengaruh globalisasi. Hal ini pun terjadi pada ustadz Wawan yang satu ini. Sehingga saat dimintai bantuannya oleh Malik, beliau tidak dapat memenuhinya. Pasalnya harus berbelit-belit dalam perbincangannya.
Usai dari pesantren mereka menikahi gadis dari keluarga yang berada pula, guna mempertahankan kehormatan keluarganya. Walau dengan alas an demi kepentingan dakwah. Sialnya lagi sebagaian mereka yang lahir dari pesantren tidak luput dari pengaruh skularisme, sehingga mengabaikan kehidupan bermasayarakat dengan ajaran agama. Ilmu yang diajarkan ke anak didik hanya sabatas membaca tulisan arab dan tata cara ibadah maghdloh.
“Apa yang tidak kamu punya? Kamu hanya tinggal bersyukur.” Ujarnya saat ditemui Malik di pesawahan milik ustadz Wawan. “Tangan kamu masih utuh, kaki kamu, seluruh anggota badan kamu masih utuh. Coba lihat mereka yang tidak punya salah satu anggota badan, tapi mereka masih bisa bersyukur, memanfaatkan sisa anggota tubuhnya yang masih utuh.”
“Justru itu pak Ustadz, saya ingin memanfaatkan anggota tubuh saya ini untuk mencari nafkah buat anak istri saya.” Ujar Malik.
“Lalu apa yang bisa aku bantu? Segalanya milik Allah. Mestinya kamu meminta segala sesuatu itu hanya pada Allah, karena Dia yang Maha Kuasa.”
“Paling tidak bapak punya sawah banyak, satu saja bapak amanahkan ke saya buat saya kerjakan.”
“Itu bukan sawah saya, itu sawah mertua saya. Udah nanti sore saya ada jadwal pengajian di mesjid, kamu harus ikut biar dapat penerangan iman.” Pungkas Ustadz Wawan secara ketus.
***
Akhirnya Malik bergegas pulang tanpa membawa apa-apa, hanya sebatas jasad dan pakaian yang melekat di tubuhnya. Kebingungan Malik semakin menjadi-jadi. Harapan Malik tidak senyata dengan impiannya. Demikian ketika susah sedang menghampiri, tak kenal kepada siapa dia bersinggah. Di emperan toko orang Malik menyandarkan tubuhnya.
Terlebih jika salah satu di antara mereka sedang sakit, kesengsaraan mereka jadi makin bertambah. Sebagaimana yang terjadi saat anaknya sakit, berbaring lemas di tempat tidurnya. Istrinya panic, menyentuh kepala dan badan anaknya, panas. Sesampai di rumah mendapati anaknya sedang berbaring sakit di tempat tidur bersama istrinya yang sedang membuat kompres guna meredakan panas demam yang menyerangnya.
“Anak kita sakit pak, dari pagi belum makan.” Kata istrinya.
Sedang suaminya menyandar di dinding rumah sambil mengelus rambutnya yang kusut.
“Tunggu bu, aku mau cari pinjam uang dulu buat beli makan sama obat.” Malik kembali pergi, mencari harapannya yang baru timbul.
Beberapa jalan sudah ia lalui, beberapa tempat sudah ia datangi, namun belum juga ada hasil. Hingga menjelang sore, akhirnya memutuskan untuk sempat hadir di pengajian ustadz Wawan, di masjid. Dalam pengajian yang disampaikan itu menerangakan tentang hakikat diciptakannya manusia ke dunia, yaitu untuk ibadah. Beliau juga menyampaikan sebuah ayat Al-Qur’an yang berbunyi “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah.”
Hingga beberapa lama kemudian Malik merasa jenuh, kemudian keluar. Duduk di teras masjid. Sambil menggerutu dalam hatinya.
“Ibadah,.ibadah,. gak tahu perut lapar. Nggak tahu apa ngasih makan ke orang lain juga ibadah.”
Dalam kebingungannya tersebut terbesit tujuan sesuatu yang tidak disangkanya. Malik melihat motor bagus yang terparkir di halaman mesjid. Motor tersebut milik ustadz Wawan. Akhirnya tanpa berpikir panjang, sepeda motor milik ustadz Wawan pun diembat, dibawa kabur. Walau tanpa kunci Malik dapat membobolnya.
Tidak disangka salah seorang santri ada yang melihatnya, dan meneriaki maling. “Maling,.maling,. motor pak ustadz dicuri maling.” Santri yang lain bergegas keluar, lalu mengejarnya, hingga malik tertangkap, dipukuli sampai babak belur.
***
Sisi lain sahabatnya, Arya sedang membersihkan motor miliknya di depan rumah. Istrinya sedang menyiapkan minum, untuknya. Anaknya yang masih duduk di bangku kelas 5 SD, sedang asik belajar di atas dipan. Anaknya menuntut minta dibeliin buku tulis baru, karena buku yang sedang dipake buat belajar sudah penuh dengan coretan hasil belajarnya.
“Mah, minta beli buku baru.” Pinta anaknya.
“Loh, buku yang beli minggu lalu ke mana?”
“Udah penuh.” Jawab si bocah.
“Aduh rajin banget belajarnya. Ya udah nanti minta sama bapak ya,.”
Lalu istrinya segera menyampaikan permintaan anaknya sambil menyodorkan minum untuknya.
“Pak, Ade rajin banget belajarnya.” Kata istrinya.
“Ya bagus,.” Jawab Arya.
“Sampai-sampai buku beli minggu kemarin udah penuh.” Lanjut istrinya.
“Kenapa, minta beli buku baru lagi?” ujar Arya menebaknya.
“Ya demi belajarnya,.”
“Ya udah gampang, nanti beli satu pak sekalian. Buat pelajaran yang lainnya.”
“Pak, sekalian buku komik juga ya,.?” Kata anaknya, nongol dari balik pintu rumah.
“Oh,. Iya, Ade mau beli komik apa?”
“Biasa, detektif conan.”
“Loh yang itu masih ada kan?”
“Yang jilid duanya, pak. Bosen ngulang-ngulang terus baca jilid satu.”
“Oh ada jilid duanya ya?”
“Jilid tiga juga ada pak. Malah yang terbaru samapi jilid tujuh.”
“Oh yaudah nanti bapak beli sampai yang terbarunya, mau jilid tujuh, delapan, atau yang belum terbit juga bapak pesenin buat kamu. Ok,.? Asal kamunya rajin belajar, rajin ibadah, rajin juga doain bapak biar dapat uang banyak, biar bisa beli apa-apa buat kamu. Ok,.?”
“Ok,. Hore asik,.asik,.” girang anaknya sambil masuk ke dalam rumah.
“Jangan terlalu mengumbar janji, nanti dituntut.”
“Gak apa-apa bu, biar anak kita senang.”
“Bisa aja. Ini minum dulu.”
Tiba-tiba datang seorang, dengan nafas terengah-engah, mengabarkan peristiwa pemukulan Malik gara-gara mencuri motor ustadz Wawan.
“Pak Arya, si Malik, rame-rame digebukin orang, gara-gara nyuri motor ustadz Wawan”
“Astaghfirullah,. Di mana?”
“Di halaman mesjid.”
Arya bergegas, berlari menuju TKP tempat Malik digebukin rame-rame. Tanpa sadar Arya berlari kencang hingga membalap motor yang melaju searah dengannya. Sandal yang dikenakkannya pun terlepas, guna tidak mengganggu lari kencangnya. Sesampai di TKP Arya langsung menghalau kerumunan orang yang menggebukin Malik.
“hey !! apa yang kalian lakukan? Dia manusia, mana prikemanusiaan kalian? Hati-hati dengan orang teraniyaya.” sentak Arya saat membela Malik, sambil nafas terengah-engah.
“Tapi dia maling.” Jawab salah seorang pengeroyok.
“Kenapa kalian biarkan dia maling?” Tanya Arya lagi.
“Makanya kita gebukin” jawab pengeroyok yang lain.
“Bukan begitu caranya. Dia hanya butuh makan, butuh menafkahi keluarganya di rumah. Mestinya kalian bantu dia, kasih shodaqoh, kasih zakat, biar dia gak sempat maling.” Ujar Arya keras suaranya.
“Kamu siapanya?” kata salah seorang pengeroyok.
“Jangan-jangan dia rekan malingnya.” Kata seorang yang lainnya.
Kemudian pengeroyokan kembali terjadi. Namun tidak kepada Malik, melainkan kepada Arya, karena dianggap rekan malingnya Malik. Awalnya Arya terkulai lemah menerima pukulan bertubi-tubi menimpanya. Namun sekuat sisa tenaganya dia berusaha brontak, melawan, berbalik memukuli pengeroyok, hingga melumpuhkan semua musuhnya. Semua pengeroyok berjatuhan kesakitan. Kemudian Arya menghampiri Malik, lalu mengendongnya bawa pulang. Sembari menghampiri ustadz Wawan, sembari mencibirnya.
Suasana tegang di TKP tersebut berakhir sudah, berubah menjadi suasana haru menyelimuti desa, karena dalam kondisi yang memperihatinkan seorang kepala rumah tangga digebukin hanya gara-gara tidak menahan lapar.
Di tengah jalan, dua lelaki berjalan terhuyung-huyung menahan rasa sakit atas pukulan sejumlah orang tak bermanusiawi. Sambil menahan sakit, Arya tetap menggendong Malik. Namun Malik tampaknya sudah sangat tak berdaya, dalam hati Malik berucap, “Ya Allah, aku tak mau mati dalam keadaan berdosa. Jika ini sampai pada waktuku, libatkan mereka atas kemiskinanku.” Tak lama kemudian malik pun menghembuskan nafas terakhir.
Arya yang menggendongnya merasakan denyut jantung malik telah berhenti. Sejenak ia menghentikan langkahnya, hanya untuk mengucap“Innalillahi wainnailahi raji’un”. Sambil meneteskan air mata, kemudian Arya jalan lagi. Sesampai di rumah didapati anak Malik sedang merintih sakit, sedang istrinya menangis sedu sedan. Istri Arya pun ada di situ, sedang merangkul istrinya Malik.
“Malik sudah meninggal.” Ucap Arya.
Riuh gaduh tangis keluarga Malik semakin keras. Secara naluriah anak dan istrinya memeluk erat dan menciumnya seraya tangisnya mengisi kegaduhan di ruang gubuk berukuran sederhana. Istri Arya mencoba menenangkan suasana, namun percuma. Sedang Arya sendiri berbalik arah, lalu meneteskan air mata juga.
Sesampai pada waktu malam, di teras rumahnya Arya melamunkan suasana pahit yang baru saja dialami. Sahabat sedari kecilnya tiba-tiba meninggal dengan peristiwa teragis. Arya masih belum mampu menghalau bayangan wajah Malik yang kerap kali muncul di ingatannya. Kemudian istrinya menghampiri, mengingatkan kalau malam sudah larut, sekitar pukul 11.30. Arya tak bergeming dengan tatapan matanya kosong. Jauh memandangnya. Sesekali dia berucap, “Siang tadi malik masih bersama kita.”
Sedari tadipun istrinya paham kalau suaminya itu sedang memikirkan nasib malang yang menimpa sahabatnya. “Yang sabar pak, doakan saja agar Allah menerima segala amal baiknya.”
“Aku mendengar kata-kata terakhir dia, dalam hatinya dia berucap ‘Dia tidak mau mati dalam keadaan berdosa. Jika hari itu sampai pada waktunya, maka libatkan mereka yang membuatnya miskin..’
Ekpresi Arya telah mengajak istrinya ikut serta menangis, dalam suasana malam yang semakin berlarut.
Sekian
